EBITDA adalah singkatan dari Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization, atau ketika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, dapat disebut sebagai Pendapatan Sebelum Bunga, Pajak, Depresiasi, dan Amortisasi.
Untuk pendapatan, bunga, serta pajak, mungkin banyak pelaku usaha yang sudah sangat familier, atau bahkan mungkin sudah sering menyelesaikan transaksi yang berkaitan dengan ketiga aspek keuangan tersebut. Namun, untuk depresiasi dan juga amortisasi, mungkin belum semua orang paham dengan baik apa arti yang dimiliki oleh kedua istilah tersebut.
Tenang saja, setelah ini kita akan mengupas tuntas serba-serbi terkait EBITDA, termasuk depresiasi serta amortisasi, kok! Let’s go!
Baca juga: Rumus Persentase, Cara Menghitung Beserta Contoh Penggunaannya
Apa Itu EBITDA?
Sesuai dengan kepanjangan yang dimilikinya, EBITDA sebenarnya merupakan sebuah rumus yang dapat digunakan untuk menghitung omzet serta seluruh pendapatan yang dihasilkan oleh suatu bisnis sebelum melalui berbagai proses pengurangan.
Selain berfungsi sebagai rumus, EBITDA juga dapat berfungsi sebagai pengingat komponen-komponen yang digunakan untuk memperoleh perhitungan pendapatan kotor. Mengapa bisa demikian? Sederhana saja, tiap-tiap huruf dalam kata EBITDA merupakan huruf depan dari setiap komponen yang dimaksud.
Jadi, saat memperoleh pertanyaan, “Apa itu EBITDA?” atau “Apa saja komponen penghitungan untuk memperoleh EBITDA?” Jangan bingung terlalu lama, dan mulai saja mengingat kepanjangan dari EBITDA itu sendiri. Dengan demikian, komponen-komponen berikut akan mudah untuk dijelaskan:
E pada EBITDA adalah ‘Earning’
Earning merupakan bahasa Inggris untuk ‘pendapatan’. Selain karena posisinya yang berada di depan pada kata EBITDA, pendapatan ini bisa dianggap sebagai komponen yang paling penting dalam EBITDA karena komponen inilah yang sebenarnya akan dihitung nantinya.
B pada EBITDA adalah ‘Before’
Before atau ‘sebelum’ menjelaskan bahwa pendapatan yang dapat ditemukan dengan rumus EBITDA merupakan pendapatan awal, atau pendapatan sebelum dikurangi oleh berbagai komponen lain yang mengikutinya dalam EBITDA.
Huruf B pada EBITDA dapat menjadi pengingat bahwa EBITDA merupakan cara untuk menghitung pendapatan kotor, karena pendapatan kotor sendiri memiliki pengertian pendapatan yang diterima secara keseluruhan ‘sebelum’ dikurangi oleh beban.
Oh, iya! Karena fungsi huruf B pada EBITDA ini hanya sebagai pengingat saja, sebenarnya huruf ini tidak termasuk dalam komponen penghitungan EBITDA, lo!
I pada EBITDA adalah ‘Interest’
Dalam pelajaran bahasa Inggris, kata interest mungkin lebih sering diartikan sebagai minat. Namun, dalam dunia ekonomi, interest merupakan istilah yang merujuk pada bunga atau nilai pengembangan uang yang dipinjam oleh seseorang dari orang atau pihak yang lain. Besarnya nilai bunga umumnya dihitung dari struktur modal yang dijadikan pinjaman, sehingga setiap pinjaman yang dilakukan mungkin memiliki nilai bunga yang berbeda.
Dalam operasional bisnis, tak jarang seorang pelaku usaha harus mengajukan pinjaman sebagai modal usaha untuk memastikan pengembangan bisnisnya dapat dilakukan dengan baik. Dalam situasi demikian, pinjaman tersebut akan dikenai bunga setiap bulannya sebagai ganti dari nilai pengembangan apabila uang tersebut tidak dipinjamkan dan dikelola sendiri oleh pihak yang meminjamkan modal.
T pada EBITDA adalah ‘Taxes’
Taxes merupakan pajak dan umumnya menjadi beban yang akan memotong setiap penghasilan yang diperoleh oleh seseorang setelah menyelesaikan suatu kegiatan ekonomi. Pajak ini merupakan kewajiban yang harus dibayarkan pelaku usaha kepada negara dan hasil pengelolaannya nanti akan dikembalikan ke masyarakat dalam berbagai bentuk, mulai dari insentif, fasilitas umum, hingga produk maupun jasa keuangan lainnya yang diluncurkan untuk kepentingan masyarakat secara luas.
Mengingat tujuan penarikan pajak, sudah menjadi kewajiban pelaku usaha untuk secara rutin membayarkan pajak yang dibebankan kepadanya, meski mungkin pelaku usaha harus mengurangi pendapatan yang diperolehnya untuk menyelesaikan kewajiban pajaknya tersebut. Jangan sampai tidak membayarkan pajak, ya!
D pada EBITDA adalah ‘Depreciation’
Nah, jika pendapatan, bunga, serta pajak merupakan komponen yang umum dan sebagian besar pelaku usaha sudah memahaminya dengan baik, depresiasi merupakan komponen dalam rumus EBITDA yang mungkin belum umum digunakan, kecuali oleh mereka yang memang sehari-hari berkutat mengurus keuangan.
Depresiasi sendiri dapat diartikan sebagai penyusutan nilai dari alat produksi maupun properti yang dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk mendukung operasional bisnisnya. Seperti yang kita ketahui bersama, alat produksi serta properti memiliki sesuatu yang disebut sebagai umur ekonomis atau masa pakai.
Seiring berjalannya waktu, umur ekonomis ini pun akan makin berkurang hingga akhirnya habis dan alat produksi atau properti tersebut tidak lagi dapat digunakan. Tentu jika suatu alat produksi sudah tidak dapat digunakan, pelaku usaha perlu membeli alat produksi yang baru untuk memastikan operasional bisnisnya dapat terus berjalan, kan? Oleh karena itu, pelaku usaha perlu menghitung nilai penyusutan dari setiap properti yang dimiliki, sehingga ketika umur ekonomisnya sudah habis, properti yang baru dapat segera dibeli untuk menggantikan fungsinya.
Penyusutan tersebut yang kemudian disebut sebagai depresiasi dan nilainya akan dibebankan pada pendapatan bisnis yang diperoleh.
A pada EBITDA adalah ‘Amortization’
Sama seperti depresiasi, amortisasi juga merupakan istilah yang tidak digunakan secara umum di luar bidang ekonomi. Jika depresiasi merupakan penyusutan nilai untuk aset berwujud tetap yang dimiliki oleh suatu pihak, amortisasi merupakan penyusutan nilai untuk aset tidak berwujud atau aset perusahaan dengan umur ekonomis yang sangat panjang.
Amortisasi yang juga dikenal dengan istilah deplesi termasuk dalam komponen cara menghitung EBITDA karena sifatnya yang kurang lebih sama dengan depresiasi, hanya saja untuk objek yang sama sekali berbeda. Dengan melakukan alokasi biaya untuk amortisasi yang terjadi, pelaku usaha dapat dengan mudah menggantikan aset yang sudah habis umur ekonomisnya dengan aset baru yang dibutuhkan untuk menjalankan operasional bisnis.
Baca juga: BEP adalah: Arti, Manfaat, hingga Cara Menghitung BEP
Cara Menghitung EBITDA dengan Rumus EBITDA
Setelah memahami apa itu EBITDA beserta komponen-komponen yang menyusunnya, tentu menghitung EBITDA bukan lagi perkara yang sulit untuk dilakukan, bukan? Selain itu, jangan lupa bahwa EBITDA itu sendiri juga merupakan sebuah rumus yang dapat digunakan untuk menyelesaikan penghitungan. Bagaimana, sih, cara kerjanya?
Penggunaan Rumus EBITDA
Bicara tentang hitung-menghitung, terlebih jika yang dihitung adalah pendapatan bisnis yang melibatkan istilah-istilah rumit seperti bunga, pajak, depresiasi, dan juga amortisasi, beberapa orang mungkin akan perlahan mengambil langkah mundur dan memilih untuk menyelesaikan pekerjaan lain. Namun, sebenarnya menghitung EBITDA bukanlah perkara yang terlalu susah, apalagi jika sudah mengetahui rumus EBITDA itu sendiri.
Mengapa bisa demikian? Karena nama EBITDA itu sendiri sebenarnya dapat dijadikan acuan untuk mengingat rumus penghitungannya. Coba lihat kembali apa saja komponen dari EBITDA. Dengan menjumlahkan seluruh komponen tersebut, EBITDA sudah dapat dihitung, lho!
Agar lebih mudah, perhatikan rumus berikut:
Rumus EBITDA EBITDA = E + I + T + D + A EBITDA = Earning + Interest + Taxes + Depreciation + Amortization EBITDA = Pendapatan Bersih + Bunga + Pajak + Depresiasi + Amortisasi |
Selain rumus di atas, untuk mencari nilai EBITDA seorang pelaku usaha juga dapat menggunakan rumus yang lebih sederhana, yaitu dengan menjumlahkan nilai laba usaha dengan biaya penyusutan serta deplesi yang muncul, atau jika dirumuskan akan menjadi:
Rumus EBITDA EBITDA = Laba usaha + Nilai Penyusutan + Amortisasi |
Agar lebih jelas, mari coba kita pecahkan contoh soal berikut:
Seorang pelaku usaha menjalankan bisnis rumahan yang bergerak di bidang fashion sebagai dropshipper. Sebagai dropship, pelaku usaha tersebut tidak memiliki tempat usaha fisik, baik yang digunakan sebagai gudang maupun toko, dan hanya bermodalkan satu buah laptop yang dibelinya seharga Rp5.000.000 dengan rata-rata masa pakai selama lima tahun. Pada bulan Januari 2022, pelaku usaha tersebut memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp12.800.000 setelah membayarkan pajak sebesar Rp800.000 dan juga bunga dari modal usahanya sebesar Rp400.000. Berapa nilai EBITDA yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut?
EBITDA = E + I + T + D + A EBITDA = Earning + Interest + Taxes + Depreciation + Amortization EBITDA = Rp12.800.000 + Rp400.000 + Rp800.000 + Rp1.000.000 + Rp0 EBITDA = Rp15.000.000
Pada bulan Januari 2022, pelaku usaha tersebut memiliki EBITDA sebesar Rp15.000.000 (lima belas juta rupiah). |
Dalam contoh kasus di atas, ada beberapa hal yang sebenarnya menarik untuk dicermati. Misalnya saja, kenapa pelaku usaha tersebut memiliki beban depresiasi sebesar Rp1.000.000, tetapi beban amortisasi yang dimilikinya sebesar Rp0?
Ingat kembali bahwa depresiasi merupakan nilai penyusutan dari aset berwujud atau alat produksi yang dimiliki oleh seseorang untuk mendukung kegiatan operasional bisnis yang dijalankannya. Properti berwujud milik pelaku usaha yang dicontohkan di atas adalah laptop seharga Rp5.000.000 dengan rata-rata masa pakai selama lima tahun.
Setelah mengetahui hal tersebut, kita dapat menghitung nilai penyusutan tahunannya dengan membagi nilai aset dengan masa pakainya. Dengan kata lain, apabila sebuah laptop seharga Rp5.000.000 memiliki masa pakai sekitar 5 tahun, setiap tahunnya laptop tersebut mengalami penyusutan sebesar Rp1.000.000, sehingga di tahun kelimanya, nilai dari laptop tersebut adalah 0 dan pelaku usaha harus membeli laptop yang baru untuk memastikan bisnisnya dapat tetap berjalan.
Sebaliknya, dalam contoh di atas juga dijelaskan bahwa bisnis yang dijalankan merupakan model bisnis dropship yang dilakukan secara online, sehingga pelaku usaha tersebut tidak membutuhkan aset lain seperti gudang untuk menyimpan stok barang maupun toko sebagai etalase untuk memajang produk yang ditawarkannya.
Karena tak memiliki aset tak berwujud maupun aset dengan umur ekonomis yang lama, pelaku usaha tersebut tidak harus menanggung beban penyusutannya. Dari kesimpulan tersebut, dapat ditentukan bahwa nilai amortisasi yang dimilikinya adalah Rp0. Selanjutnya, cukup gunakan cara menghitung EBITDA dengan menjumlahkan seluruh komponen yang diketahui. Mudah sekali, kan?
Baca juga: Memahami HPP: Pengertian, Rumus, dan Cara Menghitungnya
Apa Fungsi Penghitungan EBITDA?
Meski cara menghitung EBITDA tergolong mudah dan sederhana, tetapi tetap saja tidak semua orang gemar dengan hitung-menghitung, kan? Sebenarnya mengapa, sih, seorang pelaku usaha sebaiknya mengetahui serba-serbi terkait cara maupun rumus yang digunakan untuk menghitung EBITDA?
1. Mempermudah Analisis Performa Bisnis
EBITDA dapat digunakan untuk mempermudah pelaku usaha mengetahui seberapa baik performa dari bisnis yang dijalankan. Mengapa bisa demikian? Karena EBITDA mengacu pada seluruh total pendapatan yang dihasilkan oleh suatu bisnis tanpa menghitung beban-beban pengeluaran yang harus ditutup dari pendapatan tersebut.
Dengan demikian, pelaku usaha dapat secara tepat mengukur performa penjualan dari bisnis yang dijalankan dengan mudah. Semakin besar nilai EBITDA yang diperoleh, boleh diasumsikan bahwa semakin tinggi pula angka penjualan yang berhasil ditorehkan oleh tim sales.
Ukuran performa ini akan sulit untuk ditentukan apabila pelaku usaha tidak memahami cara menghitung EBITDA dan hanya mengandalkan pendapatan bersih yang mungkin akan membuat performa bisnis terlihat lebih buruk karena dasar penghitungannya sudah dikurangi oleh berbagai beban yang mungkin tidak secara langsung berhubungan dengan performa penjualan itu sendiri.
2. Menyelesaikan Pelaporan Pajak
Bagi seorang pelaku usaha, membayarkan pajak merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi. Namun, seperti yang sudah diketahui secara luas, besarnya pajak yang harus dibayarkan dipengaruhi pula oleh besarnya pendapatan bisnis yang dihasilkan.
Pajak yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha yang satu dengan yang lain mungkin akan berbeda karena besarnya penghasilan yang mereka peroleh juga berbeda. Untuk menentukan besarnya pajak yang menjadi kewajiban tersebut, pelaku usaha dapat menggunakan rumus EBITDA untuk mengetahui total penghasilan yang berhasil diperoleh sebelum dipotong oleh berbagai beban pengeluaran lainnya.
Memahami serba-serbi EBITDA adalah nilai tambah bagi seorang pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya, selain karena pengetahuan ini dapat mempermudah pelaku usaha dalam mengukur performa bisnisnya, EBITDA juga dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk mengetahui profitabilitas bisnis yang dimiliki dengan bisnis serupa yang dijalankan oleh kompetitor.
Tidak perlu merasa seram terlebih dahulu dengan komponen-komponen penghitungan yang dimiliki EBITDA, karena toh EBITDA memiliki rumus yang mudah untuk dipahami. Di samping itu, pelaku usaha juga dapat memanfaatkan fitur keuangan yang dimiliki oleh aplikasi majoo untuk secara otomatis mencatat setiap transaksi yang terjadi dengan tepat dan akurat.
Yuk, segera berlangganan aplikasi majoo untuk menikmati segala manfaat yang ditawarkannya!
Baca juga: Memahami Arti , Cara Menghitung, serta Rasio Profabilitas