Deadweight loss adalah hal yang lazim dialami oleh perusahaan. Baik karena faktor internal maupun eksternal, perusahaan mungkin kehilangan pasar potensialnya yang dikenal dengan istilah deadweight loss.
Sebut saja, konsumen tidak membeli barang atau jasa karena ada perubahan harga. Nah, menghitung deadweight loss akan membantu perusahaan untuk mengetahui nominal uang yang terlewatkan oleh perusahaan sehubungan dengan plafon harga, pajak baru, atau perubahan harga dasar.
Mari simak penjelasan lengkapnya di bawah ini!
Deadweight Loss Adalah…
Seperti yang sudah diketahui, terdapat permintaan dan penawaran dalam sebuah transaksi jual beli.
Baca juga: Memahami Permintaan: Faktor, Jenis, dan Fungsinya
Deadweight loss adalah hilangnya efisiensi ekonomi baik bagi produsen maupun konsumen sebab tidak ada titik temu antara permintaan dan penawaran. Dengan kata lain, kerugian deadweight terjadi akibat inefisiensi pasar, misalnya permintaan dan penawaran tidak seimbang.
Secara umum, kerugian deadweight dipicu oleh distorsi ekonomi sehingga pendapatan untuk produsen terlalu rendah, sedangkan pengeluaran di sisi konsumen terlalu besar.
Kerugian tersebut biasanya digambarkan dalam bentuk segitiga yang disebut harberger triangle di kurva deadweight loss. Sebelum membahas kurva atau rumusnya, mari kenali penyebab terjadinya kerugian deadweight.
Penyebab Deadweight Loss
Apabila konsumen merasa nilai barang tidak melebihi biaya yang harus mereka keluarkan, biasanya konsumen tak akan membeli produk atau jasa tersebut. Akibatnya, muncul kerugian deadweight.
Apa sebetulnya penyebab deadweight loss? Ketahui jawabannya dalam pembahasan berikut ini.
-
Surplus Produk
Di situasi tertentu, kadang jumlah produk yang tersedia di pasar sangat banyak. Padahal, permintaan pasar sudah terpenuhi. Dengan demikian, potensi jual beli pun hilang sebab konsumen tak lagi mencari produk tersebut.
-
Defisit Produk
Sebaliknya, kekurangan atau defisit produk juga dapat berujung pada kerugian deadweight. Defisit produk adalah situasi ketika permintaan produk banyak, sedangkan suplai produk di pasar tidak memadai. Seperti surplus produk, hal tersebut juga menghilangkan potensi jual beli di pasar.
-
Kebijakan Pajak
Pemerintah menerapkan berbagai jenis pajak, termasuk yang berkaitan dengan kegiatan jual beli, misalnya pajak penjualan dan pajak pertambahan nilai (PPN). Biasanya, nominal pajak yang harus dibayarkan akan memengaruhi harga jual barang.
Jika kebijakan pajak tinggi atau naik, produsen juga akan menaikkan harga jual atau menetapkan harga jual yang tinggi. Di satu sisi pajak mungkin bermanfaat bagi pembangunan, tetapi pajak yang tinggi berdampak pada harga jual yang tinggi juga.
Akibatnya, risiko konsumen batal melakukan pembelian dan berujung pada terjadinya deadweight loss pun tinggi.
-
Penetapan Harga Tertinggi
Kementerian Perdagangan menetapkan harga tertinggi untuk produk yang ada di pasaran atau lebih dikenal dengan istilah harga eceran tertinggi (HET).
Penentuan plafon harga tersebut ditujukan untuk melindungi konsumen dari harga yang ditentukan oleh perusahaan secara semena-mena. Akan tetapi, perusahaan kadang langsung mematok harga jual sesuai harga tertinggi, meskipun produk dapat dijual dengan harga lebih rendah.
Tidak jarang, konsumen menganggap harga tersebut terlalu tinggi sehingga batal melakukan transaksi pembelian. Jika konsumen batal bertransaksi karena harga yang dianggap mahal, perusahaan mengalami kerugian deadweight.
-
Penetapan Harga Dasar
Di samping menetapkan harga tertinggi, pemerintah juga menetapkan harga dasar. Harga dasar adalah harga minimal suatu barang boleh dijual.
Penetapan harga dasar juga perlu dilihat dari dua sisi. Layaknya penetapan upah minimum, pemerintah ingin melindungi pekerja agar tidak mendapatkan gaji yang terlalu rendah.
Di sisi lain, perusahaan banyak membayar pegawai senilai upah minimum, meskipun seharusnya bisa memberikan gaji yang lebih tinggi. Akibatnya, daya beli pun tidak optimal.
-
Adanya Subsidi Pemerintah
Pada kondisi tertentu, pemerintah akan memberikan subsidi terhadap harga jual produk, misalnya harga BBM selama ini disubsidi oleh pemerintah.
Adanya subsidi pemerintah memang menghasilkan penawaran yang bagus bagi konsumen. Sayangnya, permintaan yang tercipta setelah adanya penawaran tersebut kemungkinan bukan daya beli konsumen sebenarnya atau kadang disebut permintaan palsu.
Saat subsidi terhadap produk dihentikan, tak tertutup kemungkinan permintaan pun merosot seketika. Bagi produsen, situasi seperti ini tentu perlu diantisipasi.
-
Monopoli
Terakhir, adanya monopoli pasar berisiko tinggi mengakibatkan terjadinya kerugian deadweight. Monopoli pasar akan membuat konsumen harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli barang.
Deadweight loss pada pasar monopoli terjadi karena konsumen merasa nilai barang dan biaya yang dikeluarkan tak layak sehingga mereka membatalkan pembelian.
Baca juga: Kenali Pengertian, Ciri, Jenis, dan Contoh Pasar Oligopoli
Jenis Deadweight Loss
Dari pembahasan di atas, kita bisa mengetahui bahwa kerugian deadweight dapat dipicu oleh faktor yang bervariasi. Karena itu, ada beberapa jenis deadweight loss yang perlu kamu ketahui.
1. Deadweight Loss pada Pasar Monopoli
Monopoli pasar dapat terjadi karena ada penjual yang posisinya sangat dominan. Kekuatan penjual yang terlalu besar membuat penjual memonopoli pasar dan menetapkan hukum satu harga kepada semua pembeli.
Dalam kasus ini, penjual tidak mau menjual dengan harga rendah karena akan mengurangi keuntungan. Situasi tersebut rentan memicu tidak sesuainya permintaan dan penawaran sehingga berujung pada kerugian deadweight.
2. Deadweight Loss akibat Faktor Eksternal
Deadweight loss bisa terjadi baik karena faktor eksternal negatif maupun faktor eksternal positif.
Contoh faktor eksternal negatif, misalnya pencemaran lingkungan akibat operasional pabrik yang menyebabkan perusahaan membayar mahal untuk penanganannya. Akibatnya, penawaran harga mungkin meningkat sehingga tidak terjadi transaksi optimal pada pasar yang seharusnya potensial.
Faktor eksternal negatif lainnya yang berujung pada kerugian seperti konsumen melakukan tindakan kriminal setelah mengonsumsi minuman keras merek X. Akibat kasus tersebut, mungkin saja permintaan terhadap produk X menurun sehingga transaksi potensial tidak tercapai.
Di samping faktor eksternal negatif, ada juga faktor eksternal positif. Contoh faktor eksternal positif seperti pembangunan proyek bandara yang menyebabkan harga tanah kawasan sekitar proyek menjadi lebih mahal.
Situasi tersebut menguntungkan bagi pemilik lahan, tetapi mungkin banyak pembeli potensial yang mengurungkan niatnya membeli tanah karena harga jual tanah dinilai terlalu tinggi.
3. Deadweight Loss karena Pajak
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kebijakan pajak merupakan salah satu faktor yang memicu terjadinya kerugian deadweight. Pajak yang tinggi mendorong produsen menaikkan harga jual sehingga konsumen mungkin tidak bertransaksi akibat harga yang dianggap tak sesuai.
Contoh Deadweight Loss
Setelah membaca pengertian dan penyebab deadweight loss di poin sebelumnya, kamu mungkin mulai memahami jenis kerugian ini. Namun, untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, mari simak contoh deadweight loss dalam ilustrasi berikut ini.
Sebuah toko kue kering mengalami kerugian deadweight karena surplus produk. Toko tersebut membuat 100 stoples kue kering, tetapi yang terjual hanya 80 stoples.
Hingga menjelang kedaluwarsa, 20 stoples kue belum terjual dan akhirnya dibagikan secara gratis. 20 stoples kue sisa tersebut merupakan deadweight loss bagi toko kue.
Di sisi lain, kerugian deadweight juga dapat terjadi sebagai akibat dari defisit produk. Toko kue membuat 100 stoples kue dan terjual semuanya. Sementara itu, sebetulnya masih ada 20 orang yang mengantre untuk membeli kue. Potensi 20 pembeli tersebut juga termasuk kerugian deadweight.
Contoh deadweight loss lain, misalnya pajak yang tinggi terhadap produk rokok. Pabrik A biasanya mampu menjual 100 produk. Namun, setelah kenaikan harga produk karena kebijakan pajak yang tinggi, konsumen berpindah ke produk dari pabrik B yang lebih murah meski kualitasnya di bawah pabrik A.
Akibatnya, pabrik A hanya dapat menjual 60 produk. 40 produk yang kini tidak terjual disebut deadweight loss.
Rumus Deadweight Loss
Beberapa dari kamu mungkin bertanya, bagaimana cara menghitung deadweight loss?
Ada beberapa komponen yang perlu diketahui saat kamu akan menghitung deadweight loss, yaitu harga asli, harga setelah terdistorsi, jumlah permintaan asli, dan jumlah permintaan sesudah harga terdistorsi.
Di bawah ini, rumus deadweight loss yang dapat kamu jadikan acuan.
Deadweight loss = ((Pn − Po) × (Qo − Qn)) / 2
Keterangan:
Pn: Harga yang terdistorsi, seperti karena pajak, terdampak penetapan harga tertinggi, dan lain-lain.
Po: Harga asli.
Qo: Jumlah permintaan asli.
Qn: Jumlah permintaan setelah harga terdampak pajak, penetapan harga tertinggi, dan lain-lain.
Contoh Soal Deadweight Loss
Membaca rumus saja mungkin tak seketika membuatmu memahami tentang kerugian deadweight. Untuk lebih memahaminya, kamu telah menyiapkan contoh soal deadweight loss di bawah ini.
Anggap saja, kamu menjual rice box dengan harga Rp20.000. Karena ada kenaikan harga minyak goreng dan BBM, kamu terpaksa menghitung ulang dan menaikkan harga per porsi rice box menjadi Rp27.500.
Sebelum kenaikan harga, kamu dapat menjual sekitar 100 porse rice box. Sementara itu, penjualanmu turun menjadi 80 porsi setelah adanya kenaikan harga. Berapa nilai kerugian yang kamu alami?
Deadweight loss = ((Pn − Po) × (Qo − Qn)) / 2
Deadweight loss = ((Rp27.500 − Rp20.000) × (100 − 80)) / 2
Deadweight loss = (Rp7.500 × 20) / 2
Deadweight loss = Rp75.000
Kini kamu sudah memahami tentang deadweight loss, mulai dari pengertian, penyebab, contoh, hingga rumus cara menghitungnya.
Dalam bisnis setiap detail penjualan, keuntungan, atau kerugian tentu perlu dicatat dan dibuat laporannya. Dengan begitu, kamu dapat mengambil keputusan yang tepat terkait bisnis.
Karena itu, pastikan bisnismu sudah menggunakan aplikasi POS yang tak hanya mempermudah transaksi kasir, tetapi juga menyajikan laporan keuangan.