Apakah kamu dapat melihat dari sudut pandang konsumen, bahkan calon konsumen yang batal bertransaksi? Apakah kamu menyadari ada persoalan yang terpaksa dihadapi oleh para konsumen atau calon konsumen?
Di dunia bisnis, persoalan-persoalan tersebut lebih dikenal dengan istilah pain point. Hal-hal terkait bisnis, produk, atau pelayanan yang harus dihadapi konsumen dan terasa tidak nyaman. Akhirnya, konsumen atau calon konsumen beralih ke produk atau jasa lain.
Pernahkah terpikir, bagaimana bila kamu dapat mengidentifikasi poin-poin tersebut dan memahami kenapa poin tersebut mengurangi daya tarik bisnismu?
Paint point, menghambat utilitas dan menyembunyikan peluang usaha
Utilitas menggambarkan kepuasan yang diperoleh konsumen dari bisnis, produk, atau jasa. Dari sini, sudah terlihat bahwa persoalan yang “dibebankan” kepada konsumen memiliki efek sebaliknya.
Selain itu, pain point juga sering kali menggambarkan peluang bagi bisnis untuk bertumbuh. Sayangnya, persoalan-persoalan ini kebanyakan tersembunyi. Bisnis buta terhadap poin-poin tersebut, konsumen pun akhirnya mati rasa menghadapinya. Semua pihak dipaksa menganggap bahwa begitulah proses yang semestinya.
Maka dari itu, kamu perlu mengidentifikasi poin-poin masalah tersebut dan menganalisis poin mana yang layak diselesaikan. Ya, tidak semua persoalan tersebut perlu kamu selesaikan. Hanya poin-poin yang bersifat peluang usaha saja yang patut dicari solusinya.
Identifikasi persoalan yang dihadapi konsumen dan calon konsumen
Pengalaman konsumen menjadi kunci, cobalah petakan hal tersebut. Bila kamu berhasil memetakan pengalaman konsumen, insight yang sangat berharga tentang pain point akan diperoleh. Meski bisnismu berada di sektor yang sangat kompetitif dan secara alami memiliki banyak persoalan.
Kamu perlu memetakan keseluruhan pengalaman konsumen. Dengan demikian, kamu dapat memahami bagaimana bisnis memberikan utilitas kepada konsumen dan pada titik mana konsumen merasa tidak puas. Di sinilah peluang usaha akan terlihat, kamu dapat melesat dalam kompetisi dan memperluas pasar.
Menurut Chan Kim dan Renée Mauborgne, Profesor di salah satu sekolah bisnis ternama, INSEAD, pengalaman konsumen dapat dibagi ke dalam enam tahapan yang disebut juga siklus konsumen. Pengalaman tersebut dimulai dari pembelian, pengiriman, pemakaian, penambahan (membeli add-on misalnya), perawatan, dan pembuangan. Menariknya, pemilik bisnis kebanyakan hanya fokus pada satu atau dua tahap saja dan mengabaikan peluang dari tahapan lainnya.
Setiap tahap transaksi akan memberikan pengalaman spesifik bagi konsumen. Sebagai contoh, saat melakukan pembelian di toko. Pada tahap ini, konsumen harus melalui proses mencari produk, mengantre di kasir, dan seterusnya. Pengalaman-pengalaman inilah yang dapat kamu optimalkan sehingga konsumen tidak perlu merasa kesulitan.
Dalam hal memenuhi kebutuhannya, sebisa mungkin konsumen tidak membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan uang. Pada siklus konsumen hal ini diwakili oleh poin produktivitas. Didukung oleh poin berikutnya, yaitu kemudahan. Setiap hal berkaitan dengan bisnismu, sebisa mungkin tidak rumit. Sementara itu, kenyamanan konsumen biasanya berkaitan dengan kapan dan di mana mereka bisa memperoleh produk atau jasamu. Makin mudah aksesnya, konsumen biasanya makin nyaman.
Di samping itu, ada poin risiko yang perlu ditekan. Risiko barang rusak atau jasa tidak memuaskan. Risiko dapat berbentuk risiko finansial, fisik, sampai reputasi. Tergantung bidang bisnis yang kamu miliki.
Dua hal lain yang tidak kalah penting adalah poin menyenangkan dan ramah lingkungan. Kesenangan dan citra lebih terkait pada tampilan, rasa, dan sikap yang ditunjukkan kepada konsumen. Poin terakhir, ramah lingkungan, tentu mengukur seberapa bersahabat bisnismu dengan kelestarian lingkungan. Jangan lupa, poin ini menjadi isu penting bagi konsumen beberapa waktu belakangan!
Dari pain point menjadi peluang usaha
Mari kita coba petakan siklus pengalaman konsumen tersebut ke dalam situasi saat ini. Misal, kamu adalah pemilik kafe yang tetap buka di tengah pandemi. Bagaimana kamu dapat mengubah pain point konsumen menjadi peluang usaha? Mari kita analisis!
Dalam situasi saat ini, ada beberapa fakta yang tidak dapat dibantah. Pertama, saat konsumen harus datang ke kafe untuk membeli kopi, ada risiko tertular COVID-19. Namun, membeli kopi secara delivery pun membuat konsumen harus menambah biaya ongkos kirim. Belum lagi cup kopi yang digunakan menambah sampah plastik.
Pada kasus ini, kamu dapat mengeluarkan produk kopi literan yang dikemas di botol kaca. Produk ini dilengkapi dengan promo gratis biaya pengiriman dan dapat dipesan melalui WhatsApp, misalnya.
Ilustrasi siklus pengalaman pelanggan yang dioptimalkan, dalam bisnis kafe di masa pandemi.
Hal yang sama dapat kamu terapkan dalam berbagai sektor bisnis. Dengan demikian, kamu akan selalu dapat mengubah persoalan konsumen menjadi peluang. Selamat mencoba!