Eh, tunggu! Kenapa tambahan jam kerja ini sebaiknya tidak dinormalisasi atau diwajarkan? Sederhana saja, kok, karena praktik lembur sebenarnya sesuatu yang sudah diatur secara rinci, sehingga pelaksanaannya pun tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, apalagi berlebihan.
Masalahnya, tak semua orang memahami dengan baik aturan-aturan terkait lembur atau bahkan penerapan praktik lembur yang tepat itu sendiri. Jangan khawatir, agar tidak ada salah kaprah lagi di antara kita, khususnya bagi pemilik usaha yang memang memikirkan kesejahteraan karyawannya, mari kita bahas bersama-sama selengkapnya terkait budaya kerja melebihi waktu yang sudah ditetapkan ini.
Menjadikan Lembur sebagai Budaya? Tunggu Dulu!
Di beberapa perusahaan, khususnya perusahaan-perusahaan rintisan atau startup maupun agensi, overtime atau bekerja lembur adalah praktik yang sangat umum sekali. Bahkan, saking umumnya, praktik ini justru kerap dijadikan sebagai identitas perusahaan yang selalu disampaikan pada saat wawancara karyawan baru.
Namun, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, lembur seharusnya merupakan kasus khusus yang tidak setiap saat setiap waktu dilakukan hingga menempel sebagai budaya atau identitas perusahaan. Ditambah lagi, praktik ini sebenarnya sudah diatur dalam perundang-undangan sehingga baik pemilik usaha maupun karyawan memiliki kepastian hukum dalam penerapannya.
Bukan berarti praktik lembur sebaiknya sepenuhnya dihapuskan, lho! Justru sebaliknya, di satu sisi praktik ini dapat mendorong performa perusahaan, khususnya untuk sektor-sektor usaha yang memang secara sifat harus beroperasi sepanjang waktu dengan tenggat yang singkat. Namun, di sisi lain, menjadikan praktik ini sebagai budaya perusahaan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang disarankan karena bisa saja bertentangan dengan aturan yang sudah ditetapkan.
Nah, dari uraian di atas, tentu penting untuk mengetahui terlebih dahulu isi dari peraturan lembur yang sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan, kan? Seperti apa, sih, isi peraturan tersebut dan kenapa ia dapat bertentangan dengan budaya lembur itu sendiri?
Baca juga: Inilah Ketentuan Jam Kerja Menurut Aturan Pemerintah!
Memahami dan Menerapkan Peraturan Lembur
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja, lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam dalam sehari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu atau 8 jam dalam sehari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
Berdasarkan peraturan lembur tersebut, ketika karyawan yang memiliki 6 hari kerja dalam seminggu bekerja lebih dari 7 jam dalam sehari hingga melebihi waktu 40 jam dalam seminggu, kelebihan waktu kerja tersebut akan terhitung sebagai lembur. Masalahnya adalah, perhitungan upah untuk lembur sebenarnya tidak sama dengan perhitungan upah secara umum.
Dalam Peraturan Pemerintah terkait, penetapan upah kerja untuk lembur adalah 1,5 kali pada kelebihan waktu kerja di jam pertama dan 2 kali pada jam-jam berikutnya dengan maksimal waktu kerja tambahan sebanyak 4 jam dalam sehari. Jadi, ketika karyawan yang memiliki waktu kerja 6 hari dalam seminggu diharuskan untuk bekerja lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam dalam seminggu, dan upahnya dihitung rata per jam kerja, praktik tersebut sudah tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Cara Menghitung Lembur untuk Mendorong Produktivitas
Kapan, sih, suatu perusahaan sebaiknya menerapkan waktu kerja tambahan bagi karyawannya? Agar dapat menjawab pertanyaan tersebut, tak ada salahnya pemilik usaha memperhatikan cara menghitung lembur berdasarkan kebutuhannya.
Bagaimanapun juga, keuntungan bisnis menjadi hal utama yang harus dipertimbangkan oleh pemilik usaha, oleh karena itu, pemilik usaha perlu mengetahui terlebih dahulu seberapa besar keuntungan yang akan diterima apabila menerapkan lembur. Dengan mempertimbangkan hal ini, praktik lembur yang tidak perlu dan hanya dilakukan untuk memenuhi identitas perusahaan semata pun dapat diminimalkan.
Namun, apabila memang ada kebutuhan untuk lembur memang ada, misalnya ketika perusahaan menerima pesanan produksi dalam jumlah yang lebih besar jika dibandingkan yang biasa ditangani, pemilik usaha juga perlu memperhitungkan intensitas terjadinya situasi tersebut agar dapat membandingkan kebutuhan dengan efektivitas dalam pemberian upah.
Dengan kata lain, selain cara menghitung lembur itu sendiri, pemilik usaha setidaknya harus memperhitungkan kebutuhan dan juga efektivitasnya. Agar lebih jelas, coba simak dengan baik penjabaran yang akan diberikan berikut:
Baca juga: Pengertian, Jenis, dan Tugas Karyawan
1. Memperhatikan Kebutuhan untuk Lembur
Perhitungan laba rugi seharusnya menjadi dasar untuk setiap keputusan bisnis yang akan diambil, termasuk keputusan untuk menerapkan kerja lembur bagi karyawan atau tidak.
Apabila perhitungan laba rugi tidak dijadikan dasar pertimbangan, kasus normalisasi kerja lembur pun akan sulit untuk dihindari, khususnya pada perusahaan-perusahaan rintisan yang memang mengutamakan suasana kerja yang fleksibel. Tidak ada salahnya, memang, membudayakan karyawan untuk bekerja melebihi jam yang sudah disepakati, selama tidak melanggar aturan ketenagakerjaan yang ada.
Namun, jika memang praktik lembur yang dilakukan masih mengedepankan fleksibilitas, bukan tidak mungkin aturan ketenagakerjaan pun akan sulit untuk dipenuhi. Agar terhindar dari situasi yang demikian, hitung terlebih dahulu apakah waktu kerja tambahan ini memang diperlukan, atau justru tidak?
Apabila memang dibutuhkan proses produksi atau operasional bisnis dengan intensitas yang lebih tinggi dari biasanya, kerja lembur dapat diterapkan untuk menutupi kekurangan tersebut. Secara perhitungan laba rugi, jelas perusahaan akan diuntungkan dengan adanya praktik tersebut, dan bisa jadi justru akan mengalami kerugian apabila tidak dilakukan.
Namun, tentu tidak semua situasi akan persis sama, kan? Terkadang, ada juga situasi yang membuat perusahaan tidak akan mengalami kerugian apabila tidak menerapkan lembur, meski juga tidak akan memperoleh keuntungan. Ada pula situasi yang membuat perusahaan justru lebih diuntungkan ketika tidak memberlakukan lembur.
2. Membandingkan Efektivitas Upah Lembur
Perhitungan berikutnya yang juga harus masuk dalam pertimbangan adalah efektivitas berdasarkan besarnya upah yang harus dibayarkan kepada karyawan yang melakukan kerja lembur. Seperti yang sudah sempat disinggung sebelumnya, pemberian upah dalam peraturan lembur terhitung lebih besar dibandingkan upah normal.
Apabila praktik kerja lembur tersebut memang benar-benar dibutuhkan, pemilik usaha perlu menghitung pula seberapa sering kebutuhan tersebut muncul. Apakah dalam satu bulan hanya ada satu atau dua hari saja yang membuat karyawan harus bekerja lembur, atau justru kebutuhan tersebut muncul setiap dua kali sehari?
Pertimbangan ini perlu dilakukan agar pelaku usaha dapat menghitung efektivitas dari kerja lembur tersebut berdasarkan frekuensi kebutuhannya. Ketika kebutuhan untuk bekerja lembur sangat tinggi dengan frekuensi yang cukup sering, kembali lagi perhitungan laba rugi, akan lebih bijak bagi pemilik usaha untuk menambah jumlah karyawan alih-alih meminta karyawan yang ada saat ini untuk bekerja di luar jam kerjanya.
Bagaimanapun juga, dengan aturan pemberian upah yang berbeda, bukan tidak mungkin perusahaan dapat memangkas pengeluarannya secara optimal dengan menambah karyawan baru untuk membantu menutup beban kerja karyawan yang ada saat ini. Namun, jika memang kebutuhan tersebut tidak muncul terlalu sering, meminta karyawan untuk mengambil lembur jelas menjadi keputusan yang paling bijak dan menguntungkan perusahaan.
Baca juga: Upah adalah: Arti, Sistem, dan Perbedaannya dengan Gaji
Contoh Cara Menghitung Upah Lembur
Bicara tentang pemberian upah, sebenarnya bagaimana, sih, cara menghitung upah lembur yang tetap mematuhi peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan? Yuk, mari kita simak ilustrasi berikut:
Dari ilustrasi cara menghitung upah lembur di atas, sebenarnya kita dapat melihat dengan jelas bahwa dengan memberlakukan kerja lembur, sebenarnya perusahaan menanggung beban pengeluaran yang cukup besar. Untuk kerja tambahan sebanyak 4 jam kerja dalam enam hari saja, upah yang harus dibayarkan hampir sepertiga dari upah bulanan seorang karyawan, kan?
Besarnya beban yang harus ditanggung oleh suatu perusahaan saat memberlakukan kerja lembur sesuai dengan aturan ketenagakerjaan inilah yang membuatnya sebaiknya tidak dijadikan sebagai budaya maupun identitas perusahaan. Karena aturannya pun sudah ada, sebenarnya karyawan yang diminta untuk mengambil lembur tanpa pembayaran upah yang pantas pun dapat menuntut perusahaan secara hukum–dan tentunya akan membuat beban pengeluaran perusahaan semakin bengkak.
Karenanya, dengan bijak menyikapi praktik lembur adalah sesuatu yang harus benar-benar ditanamkan oleh pemilik usaha. Tak ada salahnya untuk memasukkan lebih banyak pertimbangan untuk memastikan penerapan praktiknya tidak melanggar aturan apa pun yang di masa depan dapat merugikan perusahaan. Secara intens memangkas pengeluaran bisnis pun juga harus menjadi upaya yang berkelanjutan, misalnya dengan memanfaatkan aplikasi majoo yang dapat membuat proses bisnis lebih efektif dan efisien.
Yuk, segera berlangganan layanan aplikasi majoo!
Baca juga: Menerapkan Format dan Contoh Slip Gaji Karyawan Secara Tepat