Perubahan kebutuhan dan kultur dunia kerja membuat jam kerja makin fleksibel. Akan tetapi, tetap ada ketentuan-ketentuan pemerintah yang menjadi koridor dan perlu diperhatikan oleh perusahaan atau pemilik bisnis.
Pasalnya, ketentuan jam kerja erat sekali kaitannya dengan hak serta kewajiban karyawan. Selain itu, setiap sektor industri memiliki ketentuan working hour yang berbeda-beda.
Jadi, bagaimana sebetulnya peraturan jam kerja di Indonesia? Sebelum membahas detail terkait peraturannya, mari kita simak pengertiannya terlebih dahulu!
Jam Kerja Adalah…
Kamu pasti familier tentang perbedaan waktu kerja yang ditetapkan satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Sebagai contoh, ada perusahaan yang menentukan office hour dari jam sembilan pagi sampai lima sore. Lalu, ada juga yang menetapkan waktu kerja dimulai jam delapan pagi dan berakhir jam empat atau lima sore.
Mengapa bisa demikian? Untuk memahaminya, kita tilik pengertian working hour terlebih dahulu.
Jam kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan baik pada siang hari ataupun malam hari.
Lamanya waktu kerja ini memang perlu diatur sedemikian rupa sebab berpengaruh terhadap produktivitas sekaligus hak-hak karyawan.
Dari sisi produktivitas, terdapat riset yang menyebutkan bahwa performa kerja karyawan akan menurun setelah karyawan bekerja lebih dari 55 jam dalam satu minggu.
Baca juga: 9 Faktor Kinerja Karyawan yang Perlu Diketahui
Sementara itu, bagi karyawan sendiri batasan maksimal jam kerja berarti pemenuhan hak istirahat. Perusahaan atau pemilik bisnis tidak dapat memaksa karyawan bekerja melebihi batasan waktu yang ditetapkan dalam aturan.
Peraturan Jam Kerja Menurut Kementerian Ketenagakerjaan
Peraturan jam kerja karyawan diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No.35 Tahun 2021 yang merupakan bagian dari UU Cipta Kerja.
Kedua dasar kebijakan tersebut sama-sama menetapkan dua jenis aturan terkait working hour karyawan sesuai Kementrian Ketenagakerjaan yang bisa digunakan oleh perusahaan, yaitu:
- 7 jam dalam sehari atau 40 jam dalam seminggu bila jumlah hari kerja ialah 6 hari dengan 1 hari istirahat dalam kurun satu minggu.
- 8 jam dalam sehari atau 40 jam dalam seminggu jika karyawan bekerja selama 5 hari kerja dengan 2 hari istirahat dalam waktu satu minggu.
Perusahaan yang menerapkan aturan waktu kerja lima hari seminggu akan memiliki jumlah efektif hari kerja sebanyak 22 hari kerja setiap bulannya dan 260 hari kerja dalam setahun.
Tentu peraturan ketenagakerjaan tentang jam kerja ini diatur sesuai dengan kebutuhan atau industri dari perusahaan yang kamu miliki.
Bahkan, ada Pasal 21 ayat (3) pada PP No.35/2021 atau Pasal 77 ayat (3) UU No.13/2013 yang mengatur pengecualian untuk ketentuan jam kerja di atas bagi sektor-sektor usaha tertentu.
Beberapa sektor usaha tertentu mungkin memiliki waktu kerja lebih sedikit atau lebih banyak dari aturan kerja karyawan yang telah disebutkan sebelumnya.
Sebut saja, usaha yang membutuhkan jam operasional selama 24 jam atau berjalan terus-menerus. Kemungkinan besar, sektor usaha ini akan memberlakukan waktu kerja yang lebih panjang daripada ketentuan yang berlaku.
Di samping itu, PP No. 35 tahun 2021 juga mengatur sektor usaha yang memiliki waktu kerja karyawan kurang dari ketentuan yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Pekerjaan bisa dilakukan dalam waktu kurang dari 7 jam sehari dan kurang dari 35 jam dalam seminggu
- Waktu kerja bersifat fleksibel atau flexi work
- Pekerjaan dapat dilakukan di luar lokasi kerja
Dengan kata lain, peraturan jam kerja karyawan sesuai Kementrian Ketenagakerjaan mengatur perhitungan dasar waktu kerja yang tegas. Namun, aturan tersebut tidak kaku dan masih ada pengecualian seperti telah disebutkan sebelumnya.
Di samping peraturan yang ditetapkan pemerintah, biasanya ketentuan waktu kerja juga kembali pada perjanjian dalam kontrak kerja yang disepakati oleh karyawan dan perusahaan pada saat karyawan mulai bekerja.
Jadi, dalam ketentuan pemerintah juga terdapat keleluasaan baik bagi karyawan maupun perusahaan untuk saling menyepakati jam kerja yang berlaku.
Baca juga: Perhatikan Hal Ini Sebelum Tanda Tangani Perjanjian Kerjamu!
Di samping kebijakan pengaturan waktu kerja secara umum, ada pula aturan-aturan khusus, seperti ketentuan jam kerja shift, jam lembur, hingga waktu cuti. Mari kita amati peraturannya satu per satu!
1. Ketentuan jam kerja shift
Istilah kerja shift berlaku untuk jam kerja yang waktunya tidak selalu pagi hingga sore layaknya jam kantor. Kerja shift bisa mencakup kerja pada malam hari atau dini hari.
Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan atau Undang-Undang Cipta Kerja memang tidak ada Pasal khusus yang mengatur ketentuan shift kerja karyawan.
Namun, indikasi adanya pemerintah mengizinkan perusahaan untuk mengatur jam kerja shift terdapat pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI KEP.233/MEN/2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan secara Terus-Menerus.
Tepatnya, di pasal dua, pemerintah mengizinkan perusahaan untuk mempekerjakan karyawannya pada hari libur resmi menurut jenis dan sifat usaha yang dijalankan secara terus-menerus. Adapun perusahaan yang dianggap memiliki sifat pekerjaan terus-menerus menurut pemerintah, antara lain:
- Bidang pelayanan jasa kesehatan.
- Bidang pelayanan jasa transportasi dan perbaikan transportasi.
- Bidang usaha pariwisata.
- Bidang jasa pos dan telekomunikasi.
- Bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih, dan penyediaan bahan bakar migas.
- Bidang ritel dan sejenisnya.
- Bidang media massa.
- Bidang pengamanan.
- Bidang lembaga konservasi.
- Bidang pekerjaan lainnya yang apabila dihentikan dapat mengganggu produksi atau merusak bahan.
Nah, perusahaan di atas masuk dalam kategori jenis usaha dengan aturan jam kerja tertentu yang bisa menerapkan jadwal shift.
Perlu dipahami, izin untuk memberlakukan jam kerja terus-menerus melalui jadwal shift tidak sama dengan mempekerjakan karyawan lebih dari waktu kerja yang ditentukan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Perusahaan atau pemilik bisnis tetap harus mematuhi aturan maksimal jam kerja yang berlaku.
Dengan kata lain, perusahaan tetap harus mematuhi atau menjadikan perhitungan waktu kerja yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai acuan kebijakan perusahaan terkait working hour.
Akan tetapi, aturan di atas menjadi dasar wewenang perusahaan dalam mengatur jam kerja karyawannya, salah satunya melalui jadwal shift.
Tujuan utama penetapan jadwal shift adalah agar karyawan tetap dapat bekerja tanpa melebihi waktu kerja yang ditentukan, yaitu 40 jam dalam seminggu.
2. Ketentuan jam kerja lembur
Dalam bekerja, ada situasi yang mengharuskan karyawan bekerja lebih lama daripada jam normalnya bekerja. Kondisi seperti ini kita kenal dengan istilah lembur.
Adapun ketentuan jam kerja lembur semula diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam undang-undang tersebut, dijelaskan bahwa karyawan hanya diperbolehkan bekerja lembur selama tiga jam setiap harinya.
Lalu, aturan tersebut menyebutkan bahwa dalam seminggu, maksimal jam kerja lembur dalam seminggu ialah 13 jam. Tidak hanya itu, perusahaan yang meminta karyawannya bekerja lembur juga diharuskan membayar upah lembur.
Baca juga: Upah Adalah: Arti, Sistem, dan Perbedaannya dengan Gaji
Kini ketentuan waktu kerja lembur diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam klaster ketenagakerjaan di Undang-Undang Cipta Kerja, ketentuan lembur di atas mengalami perubahan.
Peraturan terbaru ini menyebutkan bahwa karyawan bisa bekerja lembur maksimal empat jam dalam sehari. Kemudian, kalkulasi total waktu lembur seminggu bertambah menjadi 18 jam.
Di luar poin waktu kerja, Undang-Undang Cipta Kerja juga menetapkan beberapa aturan tambahan terkait kerja lembur.
Perusahaan harus memberikan perintah atau persetujuan kerja lembur baik tertulis secara cetak ataupun digital. Tanpa adanya persetujuan atau perintah tertulis ini, karyawan berhak menolak permintaan kerja lembur.
Apabila surat pernyataan kerja lembur sudah dibuat, tim Human Resource Department (HRD) harus membuat daftar karyawan yang bekerja lembur, termasuk lamanya waktu kerja lembur.
Baca juga: HRD Adalah: Definisi, Tugas, dan Struktur Organisasi
Durasi kerja lembur ini perlu tercatat secara rinci sebab berkaitan dengan perhitungan upah lembur. Semakin lama waktu lembur, semakin besar angka pengali upah pada perhitungan upah lembur.
3. Ketentuan jam kerja untuk wanita hamil dan menstruasi
Seperti yang sudah diketahui, karyawan wanita mungkin tidak fit saat menstruasi dan memerlukan waktu istirahat khusus saat hamil atau melahirkan. Karena itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan juga mengatur hal ini.
Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, wanita yang mengalami nyeri menstruasi boleh tidak masuk kerja pada hari pertama dan kedua menstruasi. Ketentuan jam kerja ini tentu sangat meringankan, mengingat beberapa wanita mengalami gejala nyeri menstruasi berat.
Sayangnya, kebijakan ini tidak otomatis bisa dirasakan oleh seluruh karyawan wanita. Pasalnya, Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur hal ini, tetapi menambahkan klausul berlaku bagi perusahaan yang benar-benar mempunyai aturan terkait hal ini.
Jika perusahaan sudah memiliki aturan cuti menstruasi atau cuti haid, karyawan wajib memberitahu kondisinya kepada pihak perusahaan apabila ingin istirahat pada hari pertama dan kedua menstruasi.
Berikutnya, perusahaan juga wajib memberikan libur atau cuti melahirkan bagi karyawan wanita yang sedang hamil. Cuti melahirkan adalah cuti yang diberikan bagi karyawan yang sedang hamil sebelum dan setelah melahirkan.
Cuti yang satu ini merupakan cuti berbayar dan lamanya minimal tiga bulan. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, masa cuti yang diberikan ialah 1,5 bulan sebelum melahirkan serta 1,5 bulan setelah melahirkan.
Akan tetapi, cukup banyak perusahaan yang memberikan keleluasaan waktu pengambilan cuti ini. Sebagai contoh, karyawan diperbolehkan baru mulai cuti saat kehamilannya sudah menginjak usia 9 bulan selama kondisinya fit untuk bekerja.
Selain itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan juga mengatur waktu cuti bagi karyawan yang mengalami keguguran. Bila karyawan mengalami keguguran, perusahaan harus memberikan hak karyawan beristirahat selama 1,5 bulan.
4. Ketentuan waktu istirahat kerja
Peraturan jam kerja karyawan tidak hanya mencakup waktu bekerja atau waktu operasional, tetapi juga waktu istirahat. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, perusahaan setidaknya wajib memberikan waktu istirahat untuk karyawan.
Lamanya waktu istirahat juga telah diatur dalam undang-undang. Pertama, istirahat paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus-menerus. Sebagai catatan, waktu istirahat tersebut tidak termasuk ke dalam jam kerja.
Contohnya, karyawan berada di kantor selama sembilan jam mulai dari jam 9 pagi sampai 6 malam. Waktu kerja karyawan tidak dihitung sembilan jam, tetapi 8 jam dengan waktu istirahat 1 jam.
Waktu istirahat tersebut dapat digunakan karyawan sesuai kebutuhannya masing-masing, seperti untuk makan, sekadar jeda dari pekerjaan, atau beribadah.
Khusus terkait ibadah, perusahaan wajib memberikan keleluasaan bagi karyawan melaksanakan ibadah yang diwajibkan agama. Jadi, bagi karyawan muslim yang perlu melaksanakan salat di luar waktu istirahat, idealnya tidak dipersulit.
Keleluasaan melaksanakan ibadah pada jam kerja ini diatur dalam pasal 80 UU No.13/2003.
5. Ketentuan cuti kerja
Di samping waktu istirahat, undang-undang juga mewajibkan perusahaan memberikan waktu cuti. Hak cuti yang wajib diberikan oleh perusahaan salah satunya ialah hak cuti tahunan.
Baca juga: Pekerja Wajib Tahu: Panduan Hak Cuti Karyawan
Merujuk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 79 Ayat 2 (c), cuti tahunan akan diberikan kepada karyawan yang telah bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Adapun lama hak cuti tahunan yang diberikan oleh perusahaan minimal 12 hari kerja. Meskipun begitu, perusahaan bisa menentukan hak cuti lebih dari 12 hari kerja jika ada kebijakan penyesuaian jabatan atau beban kerja.
Sesuai namanya, cuti tahunan berlaku selama tahun berjalan. Hak cuti ini akan hilang atau tidak berlaku apabila karyawan tidak mengambil hak cutinya pada tahun tersebut.
Tidak ada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur adanya kompensasi atau insentif sebagai penggantian cuti yang tidak diambil oleh karyawan selama karyawan masih bekerja di perusahaan tersebut.
Kasusnya menjadi berbeda bila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Perusahaan harus mengganti hak cuti yang belum diambil oleh karyawan dalam bentuk uang. Kompensasi ini disebut juga sebagai Uang Penggantian Hak (UPH).
Baca juga: PHK: Pengertian, Dasar Hukum, dan Jenisnya
Meskipun demikian, ada pula perusahaan yang menerapkan kebijakan hak perpanjangan cuti atau carried over leave. Jadi, karyawan boleh mengambil cuti tahun berjalan pada tahun berikutnya selama pengajuan cuti sudah disampaikan kepada perusahaan sebelum 31 Desember tahun berjalan.
Peraturan jam kerja selama pandemi COVID-19
Dalam merespons pandemi COVID, pemerintah membuat kebijakan khusus terkait jam kerja karyawan.
Menteri Ketenagakerjaan RI menandatangani Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 104 tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan hubungan kerja di perusahaan selama masa pandemi Covid19.
Pedoman tersebut mencakup tiga bagian utama, yaitu:
- Pelaksanaan sistem kerja selama pandemi COVID-19
- Pelaksanaan upah dan hak-hak pekerja
- Langkah-langkah pencegahan pemutusan hubungan kerja
Secara umum, ketentuan jam kerja dalam mencegah penyebaran virus COVID-19 ialah membatasi waktu kerja dan jumlah pekerja yang bekerja di kantor dan menerapkan WFH (Work From Home).
Namun, seiring dengan situasi penanggulangan COVID-19 yang makin membaik, sekarang sebagian besar perusahaan sudah mulai kembali menerapkan waktu kerja serta kapasitas karyawan normal.
Walaupun begitu, tidak sedikit juga perusahaan yang melanjutkan kebijakan WFH dan mengubah ketentuan waktu kerja menjadi flexible work.
Kesimpulan
Bagi kamu yang memiliki bisnis, pemahaman tentang jam kerja tentu sangat penting. Dengan mengetahui waktu kerja, kamu bisa memenuhi hak karyawan sekaligus menjaga produktivitas bisnis secara optimal.
Seperti telah dibahas sebelumnya, jam kerja adalah waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan. Waktu kerja yang berlaku dapat dilaksanakan pada siang atau malam hari.
Secara umum, ketentuan jam kerja karyawan tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi, terdapat beberapa pembaruan dalam Undang-Undang Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.
Sebagai contoh, peraturan jam kerja dasar tidak berubah, yaitu 7 jam dalam sehari atau 40 jam dalam seminggu bila jumlah hari kerja ialah 6 hari dengan 1 hari istirahat dalam kurun satu minggu.
Sementara itu, jumlah waktu kerja per hari ialah 8 jam atau 40 jam dalam seminggu jika karyawan bekerja selama 5 hari kerja dengan 2 hari istirahat dalam waktu satu minggu.
Namun, kebijakan lain mengalami perubahan, misalnya kebijakan kerja lembur. Sebelumnya, maksimal jam kerja lembur ialah 3 jam per hari dan 13 jam seminggu.
Dalam UU Cipta Kerja, waktu lembur maksimal menjadi 4 jam dalam satu haru dan 18 jam seminggu. Tidak lupa, ada upah lembur yang wajib diberikan oleh perusahaan.
Di luar itu, perusahaan juga harus memberikan waktu istirahat dan cuti seperti cuti tahunan dan cuti melahirkan. Kedua jenis cuti ini termasuk cuti berbayar sehingga karyawan tetap menerima gaji selama menjalani cuti.
Pastikan kamu melakukan pengelolaan karyawan dengan optimal agar hak karyawan terpenuhi dan operasional bisnis pun maksimal.
Untuk memudahkanmu dalam pengelolaan karyawan, pastikan kamu sudah menggunakan aplikasi POS dengan fitur manajemen karyawan!