Bagi para pemerhati dunia bisnis dan pergerakannya, fenomena bubble burst bisnis start up yang saat ini tengah dihadapi para pengusaha muda mungkin menjadi salah satu topik obrolan yang paling menarik. Bagaimana tidak? Efek dari adanya burst ini tak bisa dibilang main-main, kan?
Namun, bagi mereka yang mungkin tidak terlalu menaruh perhatian pada pergerakan dunia bisnis, khususnya update dari bidang start up, mungkin justru bingung, “Apa, sih, sebenarnya yang dimaksud dengan bubble ini? Mengapa menimpa perusahaan-perusahaan start up? Apa saja dampak yang ditimbulkan?
Tenang, tidak perlu panik menjawab sejumlah pertanyaan di atas, karena kita bisa langsung membahasnya saja bersama-sama. Mulai, yuk!
Baca juga: 5 Perubahan Perilaku Konsumen yang Membentuk Tren Bisnis
Bagaimana Bubble Bisnis Start Up Terbentuk
Sebelum bicara tentang burst, tentunya kita perlu tahu bagaimana bubble itu sendiri terbentuk, dong!
Pada dasarnya, kondisi bubble dapat terjadi pada bidang apa pun, tidak spesifik untuk perusahaan start up saja. Nyatanya, secara global kita pernah mengalami bubble world wide web dan juga bubble bisnis properti. Nah, ada yang sudah punya bayangan apa yang dimaksud dengan bubble dan apa yang menyebabkan kondisi ini terjadi?
Sederhananya, bubble merupakan gelembung yang terjadi akibat munculnya tren bisnis. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, sebagai seorang pelaku usaha yang harus jeli melihat peluang bisnis, tak jarang kita langsung menyikat setiap kesempatan yang ada untuk meningkatkan keuntungan bisnis, kan?
Oleh karena itu, kerap kali ketika ada gagasan bisnis yang baru, banyak pelaku usaha yang berlomba-lomba terjun di dalamnya dan menciptakan semacam tren. Sampai di sini tentu tidak ada masalah yang berarti, tetapi jika kita ibaratkan tren ini tak ubahnya gelembung, semakin banyak pebisnis yang bermain di dalamnya, maka gelembungnya juga akan semakin besar.
Situasi inilah yang terjadi pada perusahaan-perusahaan start up. Dalam waktu singkat, ada banyak sekali start up baru yang bermunculan memenuhi sebuah sektor bisnis yang sama.
Baca juga: Merespons Perilaku Konsumen yang Berubah Pasca Pandemi
Turunnya Tingkat Kepercayaan Investor, Burst Dimulai
Masalah terjadi ketika gelembung sudah membesar dengan banyaknya pemain bisnis di dalamnya. Sudah jelas para pelaku usaha yang berada di dalam gelembung tersebut pun akan berebut pasar yang ada, kan?
Sialnya, ketika banyaknya pertambahan pertumbuhan start up yang ada melebihi tingkat permintaan pasar, situasi oversupply pun terjadi. Secara singkat, kita dapat memahami kondisi ini dengan membayangkan adanya sepuluh penjual yang menawarkan sebuah barang kepada satu pembeli saja. Kacau sekali, kan, jadinya?
Dengan jumlah persediaan yang lebih besar dari jumlah permintaan, pelaku usaha pun kesulitan untuk meningkatkan angka penjualan. Padahal, dalam kasus perusahaan start up, ada kepentingan investor yang juga harus dipenuhi.
Kondisi oversupply ditambah dengan turunnya tingkat kepercayaan investor pun akhirnya memicu burst bisnis start up. Ibaratnya, gelembung yang sudah sangat besar tersebut sudah tidak mampu bertahan dan akhirnya pecah.
Kontribusi Pandemi terhadap Bubble dan juga Burst
Pandemi Covid-19 yang muncul di akhir tahun lalu harus diakui memberikan dampak yang tidak kecil. Pada saat itu, bisnis yang bertumbangan satu per satu pun bukanlah menjadi pemandangan yang aneh.
Meski demikian, pandemi tak hanya memberikan dampak negatif saja, kok. Justru dengan adanya pandemi, penetrasi digital serta produk teknologi pun meningkat pesat, peluang bisnis pun bermunculan.
Di masa pandemi ini, bisnis di bidang teknologi pendidikan pun mengalami era kejayaan. Wajar saja, kan? Pasalnya pandemi menyebabkan pembelajaran yang tadinya dilakukan secara tatap muka harus beralih ke pembelajaran jarak jauh, kebutuhan akan produk-produk teknologi di bidang pendidikan pun meningkat.
Sayangnya, situasi ini justru menyebabkan gelembung perusahaan start up yang bergerak di bidang teknologi pendidikan. Parahnya lagi, pandemi tak berlangsung selamanya. Seiring dengan turunnya angka kasus aktif Covid-19, pembelajaran secara tatap muka pun kembali diterapkan.
Pertanyaannya, apa yang terjadi pada gelembung start up teknologi pendidikan yang berfokus pada peluang untuk mendukung kegiatan tatap muka ketika kegiatan belajar mengajar kembali ke model tatap muka? Sederhana sekali, gelembungnya tentu pecah.
Situasi yang sama tak hanya terjadi pada perusahaan start up yang bergerak di bidang teknologi pendidikan saja, lho! Bidang-bidang lain yang bertumpu pada kegiatan di platform digital seperti layanan pesan antar kebutuhan sehari-hari dan juga platform marketplace digital pun juga mengalami situasi yang sama.
Baca juga: Menyesuaikan Strategi Bisnis Paska Pandemi, Kenapa Harus?
Bekerja dan (Terpaksa) Berhenti Bekerja
Jika kita perhatikan berita di dunia bisnis selama beberapa waktu terakhir, beberapa bisnis nampak menggeliat kembali seiring berkurangnya dampak pandemi, tetapi di saat yang sama tak sedikit pula bisnis start up yang justru terpaksa gulung tikar ketika situasi pandemi mendekati fase akhir.
Sebagai akibatnya, perusahaan-perusahaan start up ini pun harus melakukan massive lay off atau merumahkan sebagian besar karyawan yang dimilikinya. Secara bisnis, langkah ini memang masuk akal. Dengan berkurangnya pendapatan, pengeluaran seperti upah karyawan pun mau tidak mau harus dipangkas.
Obrolan tentang bubble start up menjadi sangat menarik sekali karena ketika gelembung terbentuk, perusahaan start up membuka lapangan pekerjaan yang sangat luas untuk memenuhi kebutuhan gelembungnya. Namun, saat terjadi bubble burst, jumlah karyawan yang mengalami PHK pun juga luar biasa besar.
Agar pengeluaran bisnis dapat ditekan, mengelola bisnis secara efektif dan efisien pun menjadi sebuah kewajiban. Agar dapat melakukannya dengan mudah, manfaatkan layanan aplikasi majoo yang sudah dilengkapi dengan beragam fitur unggulan untuk membantu mengelola bisnis dengan lebih mudah.
Yuk, langsung saja berlangganan layanan aplikasi majoo!
Baca juga: Tren Promosi Bakar Uang Ternyata Bermanfaat bagi Perusahaan